Rabu, 02 Juli 2014

MAKALAH "Unsur Intrinsik Cerpen"



PENERAPAN UNSUR INTRINSIK DALAM CERITA PENDEK SISWA
MAKALAH
disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Bahasa Indonesia








Widya Purnama Putri
NIM. 1300212


Jurusan ..........
Fakultas ........
Universitas ........................
2014


KATA PENGANTAR

Bismillaahirrahmaanirrahim.
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Swt, dengan limpahan rahmat dan hidayat-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul: ”Penerapan Unsur Intrinsik Dalam Cerita Pende”,  sebagai salah satu tugas mata kuliah Bahasa Indonesia.
Sesuai dengan judulnya, makalah ini merupakan hasil analisis mengenai penulisan cerita pendek dan bagaimana penerepan unsur intrinsik didalamnya.
Kemudian penulis mengucapkan terimakasih kepada :
  1. Ibu Welsi Damayanti, M.Pd, selaku dosen mata kuliah Bahasa Indonesia.
  2. Orang tua penulis yang senantiasa mendukung dan selalu mendoakan penulis, merekalah inspirasi terbesar.
  3. Rekan-rekan sekelas.
  4. Serta semua pihak yang telah membantu terselesaikannya makalah ini baik secara langsung maupun tidak langsung yang tidak dapat disebutkan satu per satu.
Penulis menyadari karya yang sangat sederhana ini jauh dari kesempurnaan baik isi, penyajian, maupun pembahasannya. Semua ini disebabkan keterbatasan kemampuan yang penulis miliki. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari semua pihak demi perbaikannya dimasa yang akan datang.
Akhirnya penulis berharap, mudah-mudahan makalah ini ada guna dan manfaatnya bagi semua pihak. Semoga apa yang dikerjakan senantiasa berada dalam ridha Allah SWT.


Bandung,  November 2013

Penulis






i
DAFTAR  ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ............................................................................................ i
DAFTAR ISI .......................................................................................................... ii
DAFTAR TABEL......................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Penelitian .................................................................... 1-2
1.2 Rumusan Masalah .................................................................................... 2
1.3 Tujuan Penelitian ..................................................................................... 2
1.4  Manfaat Penelitian................................................................................... 3
BAB II PEMBAHASAN
2.1       Landasan Teori ...................................................................................... 4
2.1.1 Pengertian Menulis....................................................................... 4
2.1.2 Cerita Pendek............................................................................... 4
2.1.2.1 Pengertian Cerita Pendek............................................. 4-5
2.1.2.2 Unsur Ekstrinsik Cerita Pendek........................................5
2.1.2.3 Unsur Intrinsik Cerita Pendek......................................5-13
2.2 Pembahasan..............................................................................................14
2.2.1 Analisis penerapan unsur intrinsik..........................................14-26
2.2.2 Kesimpulan Analisis Penerapan Unsur Intrinsik...................27-28
BAB III PENUTUP
            3.1 Kesimpulan .............................................................................................29
            3.2 Saran ................................................................................. 29-30
             
DAFTAR PUSTAKA








ii
DAFTAR PUSTAKA

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. (1995). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Rusyana, Yus. (1986). Buku Materi Pokok Keterampilan Menulis. Jakarta: Karunika.






















DAFTAR TABEL

1.      Tabel 1. Penerapan Unsur Intrinsik Cerpen Siswa SMP………………………….28

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah
            Bahasa memungkinkan manusia untuk saling berhubungan (berkomunikasi), berbagi pengalaman, belajar dari yang lain, dan untuk meningkatkan kemampuan intelektual.
 Dalam kehidupan sehari-hari, kegiatan berbahasa tercermin dalam empat aspek keterampilan berbahasa, yaitu :
1)      keterampilan menyimak (Listening Skill);
2)      keterampilan berbicara (Speaking Skill);
3)      keterampilan membaca (Reading Skill)
4)      keterampilan menulis (Writing Skill). 
Dilihat dari segi fungsinya keempat aspek keterampilan ini dapat digolongkan ke dalam dua kategori. Katagori pertama adalah kegiatan pengutaraan atau pemaparan yang berlaku untuk berbicara dan menulis, dan katagori yang kedua adalah kegiatan penerimaan yang berlaku untuk menyimak dan membaca (Rusyana, 1986 : 1.5).
Dari jenis-jenis keterampilan berbahasa di atas, keterampilan membaca dan menulis sangat memegang peranan penting dalam kehidupan manusia, karena pengetahuan apapun tidak terlepas dari membaca dan menulis. Tanpa memiliki keterampilan tersebut, maka pengetahuan apa pun yang diberikan akan sia-sia dan tidak berarti. Oleh sebab itu, penguasaan keterampilan membaca dan menulis sangat diperlukan. Mengingat pentingnya keterampilan tersebut, maka perlu pembinaan dari tingkat dasar. Di tingkat pendidikan dasar, pengajaran menulis dan membaca merupakan salah satu bidang garapan yang memegang peranan penting dalam pengajaran bahasa Indonesia, karena tanpa memiliki pengetahuan dan keterampilan membaca dan menulis maka akan mengalami kesulitan belajar dimasa mendatang atau tingkat sekolah selanjutnya (Mulyati, 1998 : 2.1).
Dua aspek keterampilan berbahasa yaitu membaca dan menulis tentunya harus dikuasai dengan baik, salah satu aspek keterampilan tersebut yakni keterampilan menulis cerita pendek (cerpen).
Keterampilan menulis merupakan keterampilan berbahasa yang sangat kompleks dan sukar dikuasai. Hal ini sesuai dengan pendapat dari Nurgiyantoro, yaitu:     Dibanding dengan tiga kemampuan berbahasa yaitu mendengar, berbicara, membaca, kemampuan menulis lebih sulit dikuasai bahkan oleh penutur ahli bahasa yang bersangkutan sekalipun. Hal ini disebabkan kemampuan menulis menghendaki penguasaan berbagai unsure kebahasaan dan unsure di luar bahasa itu sendiri yang akan menjadi isi karangan. Baik unsure bahasa maupun unsure isi haruslah terjalin sedemikian rupa sehingga menghasilkan karangan yang runtut dan padu (Nurgiyantoro, 1987 : 271).
Dan terdapat hambatan dalam menulis, yaitu dijelaskan menurut Memen Durrachman (1991 : 31): “Hambatan pertama dalam menulis yaitu mereka yang kesulitan mengungkapkan pendapatnya dalam bentuk tulisan. Hambatan kedua yaitu mereka pada umumnya sangat miskin dengan bahan yang akan mereka tulis. Hambatan ketiga yaitu kurang memadai kemampuan kebahasaan yang mereka miliki. Hambatan yang keempat yaitu kurangnya pengetahuan tentang kaidah-kaidah menulis. Dan hambatan terakhir yaitu kurangnya kesadaran akan pentingnya latihan menulis.”
Berdasarkan dari kutipan di atas, dapat disimpulkan bahwa hambatan menulis terletak pada diri sendiri karena penerapan teknik/metode pembelajaran yang kurang bervariasi. Guru sebagai fasilitator di kelas harus dapat mengajarkan keterampilan menulis (cerita pendek) dengan teknik/metode yang tepat sehingga dapat membantu siswa untuk menambah wawasan dan pengetahuan.
Mengingat pentingnya keterampilan menulis maka pengajaran menulis  perlu ditingkatkan. Kaitannya dengan penelitian ini, penulis akan mengajukan judul Penerapan Unsur Intrinsik Dalam Menulis Cerita Pendek”

1.2  Rumusan Masalah
1.2.1        Bagaimana menulis cerita pendek?
1.2.2        Bagaimana siswa sekolah dasar menerapkan unsur intrinsik dalam menulis cerita pendek?
1.3  Tujuan Penelitian
1.3.1        Untuk mengetahui bagaimana menulis cerita pendek
1.3.2        Untuk mengetahui siswa sekolah dasar menerapkan unsur intrinsik dalam menulis cerita pendek

1.4  Manfaat penelitian
1.4.1        Hasil penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan kemampuan menulis cerita pendek.
1.4.2        Melalui penelitian ini, penulis dapat mengembangkan wawasan dan pengalaman dibidang penulisan, khususnya mengenai penerapan unsur intrinsik dalam menulis cerita pendek.

























BAB II
PEMBAHASAN
2.1       Landasan Teori
2.1.1    Pengertian Menulis
                                                Untuk mendapatkan gambaran yang jelas mengenai pengertian menulis dapat kita lihat berdasarkan pendapat para ahli berikut ini.
1)      Menulis ialah membuat huruf (angka dsb) dengan pena (pensil, kapur, dsb)
(Kamus Besar Bahasa Indonesia)
2)        Menulis ialah menyampaikan ide atau gagasan dan pesan dengan menggunakan lambang grafis (tulisan). Gagasan atau pesan yang akan disampaikan itu bergantung pada perkembangan dan tingkat pengetahuan atau daya nalar siswa (Mulyati, 1998 : 2.44).
3)        Menulis ialah menurunkan atau melukiskan lambang-lambang grafis yang menggambarkan suatu bahasa yang dipahami oleh seseorang, sehingga orang-orang lain dapat membaca lambang grafik tersebut kalau mereka memahami bahasa dan gambar grafik itu (Tarigan, 1994 : 21).
4)        Menulis adalah meletakan atau mengatur simbol-simbol grafis yang menyatakan pemahaman suatu bahasa sedemikian rupa sehingga orang lain dapat membaca simbol-simbol  grafis tersebut sebagai penyajian satuan-satuan ekspresi bahasa (Lado, dan Ahmadi, 1990 : 28)
5)        Menulis adalah keterampilan berbahasa yang menuntut seseorang menghasilkan sesuatu (karangan) sebagai ungkapan pikiran, perasaan, dan kemampuan dalam berbahasa tertulis (Supani, 1990 : 2);
                                                Berdasarkan pendapat para ahli di atas, dapat penulis simpulkan bahwa pengertian menulis adalah aktifitas yang dilakukan seseorang untuk berkomunikasi secara tidak langsung melalui simbol-simbol atau lambang grafis yang menggambarkan suatu bahasa yang dipahami dan dituangkan dalam bentuk bacaan.

2.1.2    Cerita Pendek
2.1.2.1 Pengertian Cerita Pendek
Cerita pendek (cerpen) adalah salah satu bentuk karya fiksi, atau diistilahkan prosa cerita, prosa narasi, narasi, atau cerita berplot. Pengertian prosa fiksi tersebut adalah kisahan atau cerita yang diemban oleh pelaku-pelaku dengan pemeranan, latar serta tahapan dan rangkaian tertentu yang bertolak dari imajinasi pengarangnya sehingga menjalin suatu cerita. Rumusan itu adalah dalam artian konvensional karena sebuah prosa sering terdapat justru anti cerita dan tidak berplot. Dalam bentuk prosa nonkonvensional itu tujuan pengarang hanya ingin menampilkan gagasan secara aktual lewat karya yang ditampilkannya. Untuk memahami hal tersebut, pembaca harus memiliki bekal ilmu humanitas terutama psikologi dan filsafat.
2.1.2.2 Unsur Ekstrinsik Cerita Pendek
Unsur ekstrinsik merupakan salah satu unsur pembangun prosa fiksi dalam hai ini cerpen, yaitu unsur pembangun yang berada di luar cerpen itu sendiri. Namun walaupun demikian sangat besar pengaruhnya terhadap isi karya sastra tersebut. Unsur yang dimaksud menurut Nurgiyantoro (2005 : 24) mengutif pendapat Wellek dan Werren, antara lain adalah:
(1)               unsur biografi pengarang yaitu subjektivitas individu pengarang yang memiliki sikap, keyakinan, dan pandangan hidup yang kesemuanya itu akan mempengaruhi karya yang ditulisnya;
(2)               psikologi pengarang (yang mencakup prose kreatifnya), psikologi pembaca, dan penerapan prinsip psikologi dalam karya;
(3)               keadaan lingkungan pengarang, yakni ekonomi, politik, dan sosial;
(4)               pandangan hidup suatu bangsa;
(5)               karya seni yang lainnya.

2.1.2.3 Unsur Intrinsik Cerita Pendek
Unsur intrinsik adalah elemen-elemen fiksional yang membangun karya fiksi itu sendiri sebagai suatu wacana (Aminuddin, 1987 : 65). Sedangkan Soedjijono menyatakan bahwa unsur intrinsik adalah unsur yang berkenaan dengan eksistensi sastra sebagai struktur verbal yang otonom (1984 : 6).
Sejalan dengan pendapat di atas, Joko Sumardjo dan Saini K.M. mengungkapkan bahwa unsur intrinsik prosa fiksi meliputi : alur, tema, karakter, penokohan, suasana, latar, sudut pandang, dan gaya.
Dari berbagai pendapat diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa unsur intrinsik prosa fiksi, yakni (1) tema, (2) tokoh dan penokohan, (3) Watak dan perwatakan (4) alur atau plot, (5) gaya (style), (6) setting atau latar, (7) point of view atau sudut pandang pengarang, dan (8) suasana (mood dan atmosphere), (9) amanat. Penjelasan secara rinci akan dikemukakan sebagai berikut.

1)      Tema
   Menurut Scharbach, istilah tema berasal dari bahasa latin yang berarti ”tempat meletakkan suatu perangkat”. Disebut demikian karena tema merupakan ide yang mendasari suatu cerita sehingga berperanan juga sebagai pangkal tolak pengarang dalam memaparkan karya fiksi yang diciptakannya.
          Selanjutnya Brooks mengungkapkan bahwa tema merupakan pendalaman dari hasil kontemplasi pengarang yang berkaitan dengan masalah kemanusiaan serta masalah lain yang bersifat universal. Dalam hal ini tema tidak berada di luar cerita, tetapi inklusip di dalam cerita, tidak terumus di dalam satu dua kalimat secara tersurat, tetapi tersebar dibalik keseluruhan unsur-unsur signifikan atau media pemaparannya (Aminuddin, 2002 : 91-92).
Sejalan dengan pendapat di atas, Tri Priatni menjelaskan bahwa tema adalah prosa fiksi memiliki kedudukan yang sangat penting, karena semua elemen dalam prosa fiksi dalam sistem operasionalnya akan mengacu dan menunjang tema. Selanjutnya tema juga menjadi panduan pengarang dalam memilih bahan-bahan cerita yang menyusunnya.

2)      Tokoh dan Penokohan
   Priatni (2003 : 38) mengutip pendapat Soedjijono, bahwa yang dimaksud dengan tokoh adalah para pelaku subjek lirik dalam karya fiksi. Sedangkan perwatakan adalah cara pengarang menampilkan watak para tokoh dan bertugas menyiapkan atau menyediakan alasan bagi tindakan-tindakan tertentu.
          Penggolongan tokoh dalam karya fiksi dapat dilihat dari beberap aspek, yaitu :
(1)     dilihat dari bentuknya dapat dibedakan menjadi dua yakni tokoh fisik dan tokoh imajiner. Tokoh fisik adalah tokoh yang ditampilkan pengarang sebagai manusia yang hidup dalam alam ”nyata”. Dalam karya fiksi, tokoh fiksi ini dapat kita temukan dalam karya-karya konvensional (Suyitno, 1986). Sedangkan tokoh imejiner adalah tokoh yang ditampilkan pengarang sebagai manusia yang hidup dalam fantasi. Dari tokoh imejiner ini tidak akan menemukan gambaran sifat-sifat manusia secara wajar. Biasanya tokohnya adalah manusia yang serba super, tokoh tidak memiliki watak, sifat, dan perangai layaknya manusia biasa.
(2)     didasarkan dari sifat dan watak, tokoh dapat dibedakan atas tokoh protagonis dan tokoh antagonis. Tokoh protagonis adalah tokoh yang berwatak baik, sehingga disenangi oleh pembaca. Sedangkan tokoh antagonis adalah tokoh yang berwatak jelek, tidak sesuai dengan apa yang diidamkan oleh pembaca (Aminuddin, 2002 : 82).
(3)     dilihat dari fungsinya (Priatni, 2003 : 38 mengutip pendapat Sudjiman. 1988) tokoh dibedakan atas tokoh utama dan tokoh-tokoh bawahan. Tokoh utama adalah tokoh yang memegang peranan utama, frekuensi kemunculannya sangat tinggi, ialah pusat penceritaan. Sedangkan tokoh bawahan adalah tokoh yang mendukung tokoh utama yang membuat cerita lebih hidup.
(4)     berdasarkan kompleksitas masalah yang dihadapi, tokoh dibedakan atas: (1) tokoh simple (Simple Character), yaitu tokoh yang banyak dibebani masalah.
(5)     berdasarkan perkembangan watak yang dimiliki tokoh, tokoh dibedakan atas: tokoh statis dan tokoh dinamis. Tokoh statis adalah tokoh yang wataknya tidak mengalami perubahan sejak awal sampai dengan akhir cerita. Sedangkan tokoh dinamis adalah tokoh yang yang mengalami perkembangan dan perubahan watak.

3)      Watak dan Perwatakan
a.      Watak
               Watak adalah sifat dasar, akhlak atau budi pekerti yang dimiliki oleh tokoh. Setiap tokoh dalam karya fiksi memiliki sifat, sikap, dan tingkah laku atau watak-watak tertentu. Yang memperkenalkan watak-watak tersebut adalah pengarang dengan tujuan untuk memperjelas tema yang ingin disampaikan (Priatni, 2003 : 39).

b.      Perwatakan
               Menurut Priatni yang dikutip dari M. Saleh Saad dan Stephen Minot mengungkapkan bahwa ada dua cara untuk menampilkan watak para tokoh dalam cerita , yakni (1) secara analitik (langsung) dan (2) secara dramatik ( tidak langsung). Cara analitik adalah cara pengungkapan watak tokoh secara langsung. Pengarang secara lansung mengungkapkan sifat, sikap, dan perangai dari tokoh-tokoh yang ditampilkan. Sedangkan cara dramatik adalah pelukisan watak tokoh secara tidak langsung, yakni melalui : (1) lingkungan hidup pelaku, (2) monolog, (3) percakapan para pelaku, (4) jalan pikiran pelaku/tokoh, (5) reaksi pelaku terhadap peristiwa, dan (6) komentar orang lain terhadap pelaku.
         Lebih lanjut, Priatni mengutip pendapat Sukada (dalam Ratnaningsih, 1987 : 64) menyatakan bahwa pelukisan watak tokoh dapat di capai dengan cara sebagai berikut: (1) melukiskan bentuk lahir dari pelaku, (2) melukiskan jalan pikiran pelaku, (3) reaksi pelaku terhadap suatu peristiwa, (4) analisis watak pelaku secara langsung oleh pengarang, (5) melukiskan keadaan sekitar pelaku, (6) reaksi pelaku lain terhadap pelaku utama, dan (7) komentar pelaku lain terhadap pelaku utama.

4)      Alur atau Plot
Alur dalam karya fiksi adalah rangkaian cerita yang dibentuk oleh tahapan-tahapan peristiwa sehingga menjalin suatu cerita yang dihadirkan oleh para pelaku dalam suatu cerita. Istilah alur sama dengan istilah plot maupun struktur cerita (Aminuddin, 2002 : 83).
Sejalan dengan pendapat di atas, Priatni (2003 : 40) mengungkapkan bahwa alur adalah rangkaian peristiwa yang memiliki hubungan sebab-akibat, serta peristiwa merupakan unsur utama alur. Keterampilan pengarang dalam menggarap peristiwa menjadi jalinan cerita yang menarik ikut menentukan kualitas cerita yang ditampilkan oleh pengarang.
Jalinan-jalinan peristiwa dalam prosa fiksi tersusun dalam tahapan-tahapan. Pada prinsipnya prosa fiksi bergerak dari permulaan, melalui pertengahan, dan menuju akhir. Priatni (2003 : 40-41) mengemukakan pendapat beberapa ahli tentang tahapan-tahapan alur/plot sebagai berikut.
Montage dan Hanshaw menjelaskan bahwa tahapan peristiwa dalam alur/plot sebagai berikut.
(1)               exposition, yaitu tahap awal yang berisi penjelasan tentang tempat terjadinya peristiwa serta perkenalan dari setiap pelaku yang mendukung cerita;
(2)               inciting force, adalah tahapan saat timbulnya kekuatan, kehendak, maupun perilaku yang bertentangan;
(3)               rising action, adalah situasi yang panas karena pelaku-pelaku dalam cerita mulai berkonflik;
(4)               crisis, adalah situasi yang semakin panas, karena pelaku-pelaku dalam cerita mulai berkonflik dan para pelaku sudah diberi gambaran nasib oleh pengarangnya;
(5)               climax, adalah situasi puncak karena konflik berada dalam kadar yang paling tinggi, sehingga para pelaku mendapatkan kadar nasibnya sendiri-sendiri;
(6)               falling action, adalah kadar konflik yang sudah menurun, sehingga ketegangan dalam cerita sudah mulai mereda sampai menuju conclusion atau penyelesaian cerita.

5)      Gaya (Style)
   Dalam karya sastra, gaya mengandung pengertian cara seorang pengarang menyampaikan gagasan dengan menggunakan media bahasa yang indah dan harmonis serta mampu menuansakan makna dan suasana yang dapat menyentuh daya intelektual dan emosi pembaca.
                         Pengertian gaya sering dikacaukan dengan pengertian gaya bahasa, karena belum dipahaminya perbedaan antara gaya dan gaya bahasa. Gaya merupakan salah satu unsur pembentuk gaya. Hal ini sesuai dengan pendapat Aminuddin yang menyatakan bahwa gaya dibentuk oleh unsur kebahasaan yang berupa kata dan kalimat, alat gaya, yaitu majas dan kiasan. Majas meliputi asidenton, klimaks, antiklimaks, paralelisme (majas kalimat); sedangkan yang termasuk majas kata adalah litotes, hiperbola, dan eufimisme; majas pikiran, misalnya: paradoks, antitese, dan aksimoron; majas bunyi, misalnya: anafora, dan fleonasme.
                         Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa penegertian gaya lebih luas dibandingkan dengan gaya bahasa. Gaya adalah cermin pribadi pengarang, sudut pandang pengarang/Point of View.

6)      Setting atau Latar
                         Setting atau latar adalah tempat beraksinya tokoh-tokoh dalam cerita atau dapat dikatakan sebagai tempat terjadinya peristiwa dalam cerita. Agar latar menjadi hidup biasanya disertai dengan penggambaran suasana, musim, dan kurun waktu tertentu. Latar dapat dilukiskan dengan penggambaran suasana yang selaras maupun kontras (Tarigan, 1997 : 12.3).
                         Sejalan dengan pendapat di atas, Endah Tri Priatni menjelaskan bahwa setting sebenarnya tidak hanya berupa tempat, waktu, dan situasi yang bersifat fisikal saja, tetapi juga terdapat setting yang bersifat psikologis. Setting fisikal berkaitan dengan tempat, waktu, situasi dan benda-benda/lingkungan hidup yang fungsinya membuat cerita menjadi logis. Sedangkan setting psikologis disamping beda, waktu, tempat dan situasi tersebut mampu membuat cerita menjadi logis juga mampu menggerakkan emosi atau jiwa pembaca.

7)             Sudut pandang pengarang (Point of View)
Seorang pengarang dalam memaparkan ceritanya dapat memilih sudut pandang tertentu. Pengarang dapat memilih salah satu atau lebih narator/pencerita yang bertugas memaparkan ide, peristiwa-peristiwa dalam prosa fiksi. Secara garis besar pengarang dapat memilih pencerita AKUAN atau pencerita DIAAN (Priatni, 2003 : 42).
Seorang pencerita dapat dikatakan sebagai pencerita akuan apabila pencerita tersebut dalam bercerita menggunakan kata ganti orang pertama: aku atau saya. Pencerita akuan dapat menjadi salah seorang pelaku atau disebut narrator acting. Sebagai narrator acting ia bisa mengetahui semua gerak fisik maupun psikisnya. Narrator acting yang demikian ini biasanya bertindak sebagai pelaku utama yang serba tahu. Tidak semua narrator acting bertindak sebagai pencerita yang serba tahu. Terdapat kemungkinan narrator acting ini hanya mengetahui gerak fisik dari para pelaku. Dalam cerita, narrator acting ini biasanya bertindak sebagai pelaku bawahan.
Disamping bertindak sebagai pencerita yang terlibat atau narrator acting, seorang pencerita juga bisa bertindak sebagai pengamat. Pencerita semacam ini biasanya disebut pencerita DIAAN. Pencerita diaan dalam bercerita biasanya menggunakan kata ganti orang ke tiga. Adapun penunjuk kebahasaan yang digunakan biasanya: dia, ia, mereka.
Narrator pengamat dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu narrator pengamat yang serba tahu dan narrator pengamat terbatas atau objektif. Narrator pengamat serba tahu merupakan suatu teknik penceritaan dengan cara pencerita menuturkan ceritanya melalui satu atau lebih tokoh-tokohnya. Dengan sudut pandang ini, pencerita dapat berada di mana-mana dalam satu waktu.
Sedangkan narrator pengamat terbatas adalah pengarang menuturkan ceritanya melalui kesan-kesan atau impresi dari satu tokoh. Pengetahuan pencerita tentang apa yang terjadi dalam cerita terbatas pada apa yang dapat dilihat, didengar melalui gerak fisik saja.


8)             Suasana (mood dan atmosphere)
                         Menurut Priatni (2003 : 42) dalam cerita fiksi terdapat suasana batin dari individu pengarang. Di samping itu juga terdapat suasana cerita yang ditimbulkan oleh penataan setting. Suasana cerita yang ditimbulkan oleh suasana batin individual pengarang disebut mood, sedangkan suasana cerita yang timbul karena penataan setting disebut atmosphere.
                         Suasana dalam cerita fiksi merupakan daya pesona sebuah cerita. Suasana dapat pula berupa kejadian atau hanya pembicaraan tokoh saja, tapi selama kita mengikuti ceritanya terasa ada suasana tertentu yang menggayuti hati kita, tentu saja suasana cerita baru terbina kalau unsur cerita yang lain berjalan dengan baik.
                         Selanjutnya dijelaskan bahwa disamping mood dan atmosphere terdapat suasana cerita yang timbul karena sikap pengarang terhadap pokok persoalan yang dikemukakan dalam cerita. Suasana demikian dalam prosa fiksi disebut tone.

9)             Amanat
                         Apabila tema merupakan persoalan-persoalan mendasar yang diolah pengarang dalam suatu cerita, maka amanat adalah pemecahan persoalan yang terkandung dalam tema. Dalam amanat tersebut akan terlihat pndangan pengarang dan cita-citanya.
          Amanat merupakan hasil perenungan pengarang tentang berbagai persoalan hidup dan cara mengatasinya.
Yus Rusyana (1988 : 74) mengemukakan bahwa:
”Amanat merupakan endapan renungan yang disajikan kembali
kepada pembaca. Endapan tersebut merupakan hasil pemikiran
pengarang tentang hidup dan kehidupan dan dituangkan dalam
bentuk karya sastra”.


2.2       Pembahasan
            2.2.1    Analisis penerapan unsur intrinsik dalam menulis cerita pendek
                        2.2.1.1 Cerpen 1
                                    Tema                           : Sosial (Bertamasya)
                                    Tokoh dan Penokohan            : Saya
                                    Watak dan Perwatakan: Riang
                                    Alur/Plot                     : Maju
                                    Gaya                            : -
                                    Setting/Latar               : Cirata
                                    Sudut Pandang           : Akuan
                                    Suasana                       : Riang, gembira, suka cita
                                    Amanat                       : Bertasya ke Cirata itu menyenangkan
Dari cerita pendek yang dibuat oleh Fitriani Nova, dilihat dari judulnya yaitu ”Waktu Bertamasya Ke Cirata”, kurang menarik untuk dibaca. Ceritanya terlalu pendek. Gaya dalam penulisan ceritanya dinilai kurang karena kata dan kalimat yang digunakan banyak yang tidak tepat. Alur/plot sangat membosankan karena setelah perkenalan, penulis langsung memberikan penjelasan tentang isi ceritanya, tidak ada krisis langsung pada penyelesaian. Sehingga, walaupun ceritanya sangat pendek namun tetap akan membosankan pembaca. Amanat dari cerita pendek tersebut kurang didapat.

                                    2.2.1.2 Cerpen 2
Tema                           : Sosial budaya
Tokoh dan Penokohan : tiga anak sekolah di Desa Sukakali Jojon, Jono, dan Joni
Watak dan Perwatakan: Jojon (humoris), Jono (bijak), dan Joni (humoris)
Alur/Plot                     : Maju
Gaya                            : Santai
Setting/Latar               : Desa Sukakali
Sudut Pandang           : Diaan
Suasana                       : Riang, gembira, suka cita
Amanat                       : Selesaikan masalah dengan bijak
             Dari  cerita pendek yang ditulis oleh Alma, anak kelas tiga sekolah dasar ini cukup menarik dan lucu. Dia mempunyai gaya yang khas dalam memaparkan ceritanya sehingga tidak membosankan. Namun perlu diperhatikan dalam pemilihan kata atau diksi. Amanat pada cerita pendek yang berjudul Desa Sukakali ini yaitu tidak usah mengeluh pada keadaan tanpa bertindak, coba bicarakan pada yang lebih mengerti.

2.2.1.3  Cerpen 3
Tema                           : Sosial
Tokoh dan Penokohan : Farah dan Mama
Watak dan Perwatakan: Farah (cengeng tapi pekerja keras) dan Mama (bijak)
Alur/Plot                     : Maju
Gaya                            :
Setting/Latar               : Rumah dan sekolah
Sudut Pandang           : Diaan
Suasana                       : Haru dan bahagia
Amanat                       : Sabar, kerja keras, pasti berhasil
             Cerpen yang berjudul Jari Gemuk Farah ini sangat singkat, temanya cukup menarik, amanatnya mudah dapat. Tidak ada pemekaran cerita karena pemaparannya langsung pada inti yang dilakukan tokoh. Cerita pendek yang ditulis oleh Alma ini terbilang sudah baik mengingat usianya yang masih 9 tahun. Penerapan unsure instrinsiknya sudah cukup baik, hanya kurang dalam gaya menulisnya.

2.2.1    Kesimpulan analisis penerapan unsur intrinsik dalam menulis cerita pendek
Dari ketiga cerita pendek yang dibuat oleh siswa sekolah dasar, sudah dapat dikatakan memenuhi unsur-unsur intrinsik sebuah cerita pendek. Namun, yang perlu dibangun lagi yaitu unsur intrinsik gaya. Perlunya membangun gaya dalam menulis sebuah cerita pendek agar siswa mampu  menulis cerita dengan ciri khasnya masing-masing tanpa menghilangkan unsur-unsur yang ada.
Kemudian penulisan kutipan atau percakapan. Semua cerita pendek yang dibuat oleh siswa sekolah dasar tersebut terdapat banyak pemaparan cerita dan kutipan yang digabungkan tanpa menggunakan tanda petik atau pembeda. Penulisan seperti membuat pembaca sulit memahami maksudunya.
Yang berperan penting untuk membangun siswa sekolah dasar dalam menulis cerita pendek ini adalah seorang pengajar atau guru dikelas. Seorang pengajar perlu mendeskripsikan kecakapan belajar para siswa sehingga dapat diketahui kelebihan dan kekurangannya dalam menulis cerita pendek sehingga didapat perbaikan-perbaikan dalam menulis dikemudian hari.
Pengajar pun harus dapat mengajarkan keterampilan menulis (cerita pendek) dengan teknik/metode yang tepat sehingga dapat membantu siswa untuk menambah wawasan dan pengetahuan. Hendaknya selalu mempunyai inovasi baru dalam pembelajaran menulis untuk meningkatkan kemampuan menulis siswa. Hal ini dapat dilakukan dengan melakukan pembelajaran menulis dengan menggunakan teknik yang bervariasi.








BAB III
PENUTUP

3.1       Kesimpulan
3.1.1    Menulis adalah aktifitas yang dilakukan seseorang untuk berkomunikasi secara tidak langsung melalui simbol-simbol atau lambang grafis yang menggambarkan suatu bahasa yang dipahami dan dituangkan dalam bentuk bacaan.
3.1.2    Cerita pendek (cerpen) adalah salah satu bentuk karya fiksi, atau diistilahkan prosa cerita, prosa narasi, narasi, atau cerita berplot.
3.1.3    Unsur ekstrinsik merupakan salah satu unsur pembangun prosa fiksi dalam hai ini cerpen, yaitu unsur pembangun yang berada di luar cerpen itu sendiri
3.1.4    Unsur intrinsik meliputi (1) tema, (2) tokoh dan penokohan, (3) Watak dan perwatakan (4) alur atau plot, (5) gaya (style), (6) setting atau latar, (7) point of view atau sudut pandang pengarang, dan (8) suasana (mood dan atmosphere), (9) amanat
3.1.5    Dari ketiga cerita pendek yang dibuat oleh siswa sekolah dasar, sudah dapat dikatakan memenuhi unsur-unsur intrinsik sebuah cerita pendek. Yang berperan penting untuk membangun siswa sekolah dasar dalam menulis cerita pendek ini adalah seorang pengajar atau guru dikelas.

3.2              Saran
3.2.1        Sebelum menulis, penulis harus benar-benar memahami betul struktur dan kaidah penulisan sebuah tulisan yang akan dibuat.
3.2.2        Dalam menulis cerita pendek, kaidah yang perlu dipahami yaitu unsur intrinsik dan ekstrinsik.
3.2.3        Ciptakan tema yang semenarik mungkin.
3.2.4        Seorang guru harus memberitahu kekurangan dan kelebihan siswa dalam menulis cerita pendek, sehingga siswa mampu menulis dengan lebih baik.
3.2.5        Guru dikelas hendaknya selalu mempunyai inovasi baru dalam pembelajaran menulis untuk meningkatkan kemampuan menulis siswa. Hal ini dapat dilakukan dengan melakukan pembelajaran menulis dengan menggunakan teknik yang bervariasi.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar