PENERAPAN UNSUR INTRINSIK DALAM
CERITA PENDEK SISWA
MAKALAH
MAKALAH
disusun untuk memenuhi salah
satu tugas mata kuliah Bahasa Indonesia
Widya Purnama Putri
NIM. 1300212
Jurusan ..........
Fakultas ........
Universitas ........................
2014
Fakultas ........
Universitas ........................
2014
KATA
PENGANTAR
Bismillaahirrahmaanirrahim.
Puji dan syukur penulis
panjatkan kepada Allah Swt, dengan limpahan rahmat dan hidayat-Nya penulis
dapat menyelesaikan makalah yang berjudul: ”Penerapan Unsur Intrinsik Dalam Cerita
Pende”, sebagai salah satu tugas mata kuliah Bahasa
Indonesia.
Sesuai dengan judulnya, makalah ini merupakan hasil
analisis mengenai penulisan cerita pendek dan bagaimana penerepan unsur
intrinsik didalamnya.
Kemudian
penulis mengucapkan terimakasih kepada :
- Ibu Welsi Damayanti, M.Pd, selaku dosen mata kuliah Bahasa Indonesia.
- Orang tua penulis yang senantiasa mendukung dan selalu mendoakan penulis, merekalah inspirasi terbesar.
- Rekan-rekan sekelas.
- Serta semua pihak yang telah membantu terselesaikannya makalah ini baik secara langsung maupun tidak langsung yang tidak dapat disebutkan satu per satu.
Penulis menyadari karya yang sangat sederhana ini
jauh dari kesempurnaan baik isi, penyajian, maupun pembahasannya. Semua ini
disebabkan keterbatasan kemampuan yang penulis miliki. Oleh karena itu, penulis
mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari semua pihak demi perbaikannya
dimasa yang akan datang.
Akhirnya penulis berharap, mudah-mudahan makalah ini
ada guna dan manfaatnya bagi semua pihak. Semoga apa yang dikerjakan senantiasa berada dalam ridha Allah SWT.
Bandung, November 2013
Penulis
i
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ............................................................................................ i
DAFTAR ISI .......................................................................................................... ii
DAFTAR TABEL......................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penelitian .................................................................... 1-2
1.2 Rumusan Masalah .................................................................................... 2
1.3 Tujuan Penelitian ..................................................................................... 2
1.4 Manfaat Penelitian................................................................................... 3
BAB II PEMBAHASAN
2.1
Landasan Teori ...................................................................................... 4
2.1.1 Pengertian Menulis....................................................................... 4
2.1.2 Cerita Pendek............................................................................... 4
2.1.2.1 Pengertian Cerita Pendek............................................. 4-5
2.1.2.2 Unsur Ekstrinsik Cerita Pendek........................................5
2.1.2.3 Unsur Intrinsik Cerita Pendek......................................5-13
2.2 Pembahasan..............................................................................................14
2.2.1 Analisis penerapan unsur
intrinsik..........................................14-26
2.2.2 Kesimpulan Analisis Penerapan Unsur Intrinsik...................27-28
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan
.............................................................................................29
3.2 Saran ................................................................................. 29-30
DAFTAR PUSTAKA
ii
DAFTAR PUSTAKA
Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan. (1995). Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Jakarta: Balai Pustaka.
Rusyana, Yus. (1986). Buku Materi Pokok
Keterampilan Menulis. Jakarta: Karunika.
DAFTAR TABEL
1. Tabel 1. Penerapan Unsur
Intrinsik Cerpen Siswa SMP………………………….28
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Bahasa
memungkinkan manusia untuk saling berhubungan (berkomunikasi), berbagi
pengalaman, belajar dari yang lain, dan untuk meningkatkan kemampuan
intelektual.
Dalam
kehidupan sehari-hari, kegiatan berbahasa tercermin dalam empat aspek
keterampilan berbahasa, yaitu :
1) keterampilan
menyimak (Listening Skill);
2) keterampilan
berbicara (Speaking Skill);
3) keterampilan
membaca (Reading Skill)
4) keterampilan
menulis (Writing Skill).
Dilihat dari segi fungsinya keempat aspek
keterampilan ini dapat digolongkan ke dalam dua kategori. Katagori pertama
adalah kegiatan pengutaraan atau pemaparan yang berlaku untuk berbicara
dan menulis, dan katagori yang kedua adalah kegiatan penerimaan yang berlaku untuk menyimak dan membaca (Rusyana, 1986 :
1.5).
Dari jenis-jenis keterampilan berbahasa di
atas, keterampilan membaca dan menulis sangat memegang peranan penting dalam
kehidupan manusia, karena pengetahuan apapun tidak terlepas dari membaca dan
menulis. Tanpa memiliki keterampilan tersebut, maka pengetahuan apa pun yang
diberikan akan sia-sia dan tidak berarti. Oleh sebab itu, penguasaan
keterampilan membaca dan menulis sangat diperlukan. Mengingat pentingnya
keterampilan tersebut, maka perlu pembinaan dari tingkat dasar. Di tingkat
pendidikan dasar, pengajaran menulis dan membaca merupakan salah satu bidang
garapan yang memegang peranan penting dalam pengajaran bahasa Indonesia, karena
tanpa memiliki pengetahuan dan keterampilan membaca dan menulis maka akan
mengalami kesulitan belajar dimasa mendatang atau tingkat sekolah selanjutnya
(Mulyati, 1998 : 2.1).
Dua aspek keterampilan berbahasa yaitu membaca dan menulis tentunya harus dikuasai dengan baik, salah satu aspek
keterampilan tersebut yakni keterampilan menulis cerita pendek (cerpen).
Keterampilan menulis merupakan
keterampilan berbahasa yang sangat kompleks dan sukar dikuasai. Hal ini sesuai
dengan pendapat dari Nurgiyantoro, yaitu: Dibanding
dengan tiga kemampuan berbahasa yaitu mendengar, berbicara, membaca, kemampuan
menulis lebih sulit dikuasai bahkan oleh penutur ahli bahasa yang bersangkutan
sekalipun. Hal ini disebabkan kemampuan menulis menghendaki penguasaan berbagai
unsure kebahasaan dan unsure di luar bahasa itu sendiri yang akan menjadi isi
karangan. Baik unsure bahasa maupun unsure isi haruslah terjalin sedemikian
rupa sehingga menghasilkan karangan yang runtut dan padu (Nurgiyantoro, 1987 :
271).
Dan terdapat hambatan dalam menulis, yaitu
dijelaskan menurut Memen Durrachman (1991 : 31): “Hambatan pertama dalam
menulis yaitu mereka yang kesulitan mengungkapkan pendapatnya dalam bentuk
tulisan. Hambatan kedua yaitu mereka pada umumnya sangat miskin dengan bahan
yang akan mereka tulis. Hambatan ketiga yaitu kurang memadai kemampuan
kebahasaan yang mereka miliki. Hambatan yang keempat yaitu kurangnya
pengetahuan tentang kaidah-kaidah menulis. Dan hambatan terakhir yaitu
kurangnya kesadaran akan pentingnya latihan menulis.”
Berdasarkan dari kutipan di atas, dapat
disimpulkan bahwa hambatan menulis terletak pada diri sendiri karena penerapan
teknik/metode pembelajaran yang kurang bervariasi. Guru sebagai fasilitator di
kelas harus dapat mengajarkan keterampilan menulis (cerita pendek) dengan
teknik/metode yang tepat sehingga dapat membantu siswa untuk menambah wawasan
dan pengetahuan.
Mengingat pentingnya
keterampilan menulis maka pengajaran menulis
perlu ditingkatkan. Kaitannya dengan penelitian ini, penulis akan
mengajukan judul ”Penerapan Unsur Intrinsik Dalam
Menulis Cerita Pendek”
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1
Bagaimana
menulis cerita pendek?
1.2.2
Bagaimana
siswa sekolah dasar menerapkan unsur intrinsik dalam menulis cerita pendek?
1.3 Tujuan
Penelitian
1.3.1
Untuk
mengetahui bagaimana menulis cerita pendek
1.3.2
Untuk
mengetahui siswa sekolah
dasar menerapkan unsur intrinsik dalam menulis cerita pendek
1.4 Manfaat
penelitian
1.4.1
Hasil penelitian ini diharapkan dapat
meningkatkan kemampuan menulis cerita pendek.
1.4.2
Melalui penelitian ini, penulis dapat mengembangkan
wawasan dan pengalaman dibidang penulisan,
khususnya mengenai penerapan unsur intrinsik dalam menulis cerita pendek.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Landasan Teori
2.1.1 Pengertian
Menulis
Untuk mendapatkan gambaran yang jelas
mengenai pengertian menulis dapat kita lihat berdasarkan pendapat para ahli
berikut ini.
1)
Menulis
ialah membuat huruf (angka dsb) dengan pena (pensil, kapur, dsb)
(Kamus Besar Bahasa Indonesia)
2)
Menulis
ialah menyampaikan ide atau gagasan dan pesan dengan menggunakan lambang grafis
(tulisan). Gagasan atau pesan yang akan disampaikan itu bergantung pada perkembangan
dan tingkat pengetahuan atau daya nalar siswa (Mulyati, 1998 : 2.44).
3)
Menulis
ialah menurunkan atau melukiskan lambang-lambang grafis yang menggambarkan
suatu bahasa yang dipahami oleh seseorang, sehingga orang-orang lain dapat
membaca lambang grafik tersebut kalau mereka memahami bahasa dan gambar grafik
itu (Tarigan, 1994 : 21).
4)
Menulis
adalah meletakan atau mengatur simbol-simbol grafis yang menyatakan pemahaman
suatu bahasa sedemikian rupa sehingga orang lain dapat membaca
simbol-simbol grafis tersebut sebagai
penyajian satuan-satuan ekspresi bahasa (Lado, dan Ahmadi, 1990 : 28)
5)
Menulis
adalah keterampilan berbahasa yang menuntut seseorang menghasilkan sesuatu
(karangan) sebagai ungkapan pikiran, perasaan, dan kemampuan dalam berbahasa
tertulis (Supani, 1990 : 2);
Berdasarkan pendapat
para ahli di atas, dapat penulis simpulkan bahwa pengertian menulis adalah
aktifitas yang dilakukan seseorang untuk berkomunikasi secara tidak langsung
melalui simbol-simbol atau lambang grafis yang menggambarkan suatu bahasa yang
dipahami dan dituangkan dalam bentuk bacaan.
2.1.2 Cerita Pendek
2.1.2.1 Pengertian Cerita Pendek
Cerita pendek
(cerpen) adalah salah satu bentuk karya fiksi, atau diistilahkan prosa cerita,
prosa narasi, narasi, atau cerita berplot. Pengertian prosa fiksi tersebut
adalah kisahan atau cerita yang diemban oleh pelaku-pelaku dengan pemeranan,
latar serta tahapan dan rangkaian tertentu yang bertolak dari imajinasi
pengarangnya sehingga menjalin suatu cerita. Rumusan itu adalah dalam artian
konvensional karena sebuah prosa sering terdapat justru anti cerita dan tidak
berplot. Dalam bentuk prosa nonkonvensional itu tujuan pengarang hanya ingin
menampilkan gagasan secara aktual lewat karya yang ditampilkannya. Untuk
memahami hal tersebut, pembaca harus memiliki bekal ilmu humanitas terutama
psikologi dan filsafat.
2.1.2.2
Unsur Ekstrinsik Cerita Pendek
Unsur ekstrinsik
merupakan salah satu unsur pembangun prosa fiksi dalam hai ini cerpen, yaitu
unsur pembangun yang berada di luar cerpen itu sendiri. Namun walaupun demikian
sangat besar pengaruhnya terhadap isi karya sastra tersebut. Unsur yang
dimaksud menurut Nurgiyantoro (2005 : 24) mengutif pendapat Wellek dan Werren,
antara lain adalah:
(1)
unsur
biografi pengarang yaitu subjektivitas individu pengarang yang memiliki sikap,
keyakinan, dan pandangan hidup yang kesemuanya itu akan mempengaruhi karya yang
ditulisnya;
(2)
psikologi
pengarang (yang mencakup prose kreatifnya), psikologi pembaca, dan penerapan
prinsip psikologi dalam karya;
(3)
keadaan
lingkungan pengarang, yakni ekonomi, politik, dan sosial;
(4)
pandangan
hidup suatu bangsa;
(5)
karya
seni yang lainnya.
2.1.2.3
Unsur Intrinsik Cerita Pendek
Unsur
intrinsik adalah elemen-elemen fiksional yang membangun karya fiksi itu sendiri
sebagai suatu wacana (Aminuddin, 1987 : 65). Sedangkan Soedjijono menyatakan
bahwa unsur intrinsik adalah unsur yang berkenaan dengan eksistensi sastra
sebagai struktur verbal yang otonom (1984 : 6).
Sejalan
dengan pendapat di atas, Joko Sumardjo dan Saini K.M. mengungkapkan bahwa unsur
intrinsik prosa fiksi meliputi : alur, tema, karakter, penokohan, suasana,
latar, sudut pandang, dan gaya.
Dari berbagai
pendapat diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa unsur intrinsik prosa fiksi,
yakni (1) tema, (2) tokoh dan penokohan, (3) Watak dan perwatakan (4) alur atau
plot, (5) gaya (style), (6) setting atau latar, (7) point of view atau sudut pandang
pengarang, dan (8) suasana (mood dan atmosphere), (9) amanat. Penjelasan secara
rinci akan dikemukakan sebagai berikut.
1) Tema
Menurut Scharbach, istilah tema berasal dari
bahasa latin yang berarti ”tempat meletakkan suatu perangkat”. Disebut demikian
karena tema merupakan ide yang mendasari suatu cerita sehingga berperanan juga
sebagai pangkal tolak pengarang dalam memaparkan karya fiksi yang
diciptakannya.
Selanjutnya Brooks mengungkapkan bahwa
tema merupakan pendalaman dari hasil kontemplasi pengarang yang berkaitan
dengan masalah kemanusiaan serta masalah lain yang bersifat universal. Dalam
hal ini tema tidak berada di luar cerita, tetapi inklusip di dalam cerita,
tidak terumus di dalam satu dua kalimat secara tersurat, tetapi tersebar dibalik
keseluruhan unsur-unsur signifikan atau media pemaparannya (Aminuddin, 2002 :
91-92).
Sejalan
dengan pendapat di atas, Tri Priatni menjelaskan bahwa tema adalah prosa fiksi
memiliki kedudukan yang sangat penting, karena semua elemen dalam prosa fiksi
dalam sistem operasionalnya akan mengacu dan menunjang tema. Selanjutnya tema
juga menjadi panduan pengarang dalam memilih bahan-bahan cerita yang
menyusunnya.
2) Tokoh
dan Penokohan
Priatni (2003 : 38) mengutip pendapat
Soedjijono, bahwa yang dimaksud dengan tokoh adalah para pelaku subjek lirik
dalam karya fiksi. Sedangkan perwatakan adalah cara pengarang menampilkan watak
para tokoh dan bertugas menyiapkan atau menyediakan alasan bagi
tindakan-tindakan tertentu.
Penggolongan tokoh dalam karya fiksi
dapat dilihat dari beberap aspek, yaitu :
(1)
dilihat
dari bentuknya dapat dibedakan menjadi dua yakni tokoh fisik dan tokoh
imajiner. Tokoh fisik adalah tokoh yang ditampilkan pengarang sebagai manusia
yang hidup dalam alam ”nyata”. Dalam karya fiksi, tokoh fiksi ini dapat kita
temukan dalam karya-karya konvensional (Suyitno, 1986). Sedangkan tokoh
imejiner adalah tokoh yang ditampilkan pengarang sebagai manusia yang hidup
dalam fantasi. Dari tokoh imejiner ini tidak akan menemukan gambaran
sifat-sifat manusia secara wajar. Biasanya tokohnya adalah manusia yang serba
super, tokoh tidak memiliki watak, sifat, dan perangai layaknya manusia biasa.
(2)
didasarkan
dari sifat dan watak, tokoh dapat dibedakan atas tokoh protagonis dan tokoh
antagonis. Tokoh protagonis adalah tokoh yang berwatak baik, sehingga disenangi
oleh pembaca. Sedangkan tokoh antagonis adalah tokoh yang berwatak jelek, tidak
sesuai dengan apa yang diidamkan oleh pembaca (Aminuddin, 2002 : 82).
(3)
dilihat
dari fungsinya (Priatni, 2003 : 38 mengutip pendapat Sudjiman. 1988) tokoh
dibedakan atas tokoh utama dan tokoh-tokoh bawahan. Tokoh utama adalah tokoh
yang memegang peranan utama, frekuensi kemunculannya sangat tinggi, ialah pusat
penceritaan. Sedangkan tokoh bawahan adalah tokoh yang mendukung tokoh utama
yang membuat cerita lebih hidup.
(4)
berdasarkan
kompleksitas masalah yang dihadapi, tokoh dibedakan atas: (1) tokoh simple (Simple Character), yaitu tokoh yang
banyak dibebani masalah.
(5)
berdasarkan
perkembangan watak yang dimiliki tokoh, tokoh dibedakan atas: tokoh statis dan tokoh dinamis. Tokoh statis adalah tokoh yang wataknya tidak
mengalami perubahan sejak awal sampai dengan akhir cerita. Sedangkan tokoh
dinamis adalah tokoh yang yang mengalami perkembangan dan perubahan watak.
3) Watak
dan Perwatakan
a. Watak
Watak
adalah sifat dasar, akhlak atau budi pekerti yang dimiliki oleh tokoh. Setiap
tokoh dalam karya fiksi memiliki sifat, sikap, dan tingkah laku atau
watak-watak tertentu. Yang memperkenalkan watak-watak tersebut adalah pengarang
dengan tujuan untuk memperjelas tema yang ingin disampaikan (Priatni, 2003 :
39).
b. Perwatakan
Menurut
Priatni yang dikutip dari M. Saleh Saad dan Stephen Minot mengungkapkan bahwa
ada dua cara untuk menampilkan watak para tokoh dalam cerita , yakni (1) secara
analitik (langsung) dan (2) secara dramatik ( tidak langsung). Cara analitik
adalah cara pengungkapan watak tokoh secara langsung. Pengarang secara lansung
mengungkapkan sifat, sikap, dan perangai dari tokoh-tokoh yang ditampilkan.
Sedangkan cara dramatik adalah pelukisan watak tokoh secara tidak langsung,
yakni melalui : (1) lingkungan hidup pelaku, (2) monolog, (3) percakapan para
pelaku, (4) jalan pikiran pelaku/tokoh, (5) reaksi pelaku terhadap peristiwa,
dan (6) komentar orang lain terhadap pelaku.
Lebih lanjut, Priatni mengutip pendapat
Sukada (dalam Ratnaningsih, 1987 : 64) menyatakan bahwa pelukisan watak tokoh
dapat di capai dengan cara sebagai berikut: (1) melukiskan bentuk lahir dari
pelaku, (2) melukiskan jalan pikiran pelaku, (3) reaksi pelaku terhadap suatu
peristiwa, (4) analisis watak pelaku secara langsung oleh pengarang, (5)
melukiskan keadaan sekitar pelaku, (6) reaksi pelaku lain terhadap pelaku
utama, dan (7) komentar pelaku lain terhadap pelaku utama.
4) Alur
atau Plot
Alur dalam
karya fiksi adalah rangkaian cerita yang dibentuk oleh tahapan-tahapan
peristiwa sehingga menjalin suatu cerita yang dihadirkan oleh para pelaku dalam
suatu cerita. Istilah alur sama dengan istilah plot maupun struktur cerita
(Aminuddin, 2002 : 83).
Sejalan
dengan pendapat di atas, Priatni (2003 : 40) mengungkapkan bahwa alur adalah
rangkaian peristiwa yang memiliki hubungan sebab-akibat, serta peristiwa
merupakan unsur utama alur. Keterampilan pengarang dalam menggarap peristiwa
menjadi jalinan cerita yang menarik ikut menentukan kualitas cerita yang
ditampilkan oleh pengarang.
Jalinan-jalinan
peristiwa dalam prosa fiksi tersusun dalam tahapan-tahapan. Pada prinsipnya
prosa fiksi bergerak dari permulaan, melalui pertengahan, dan menuju akhir.
Priatni (2003 : 40-41) mengemukakan pendapat beberapa ahli tentang
tahapan-tahapan alur/plot sebagai berikut.
Montage dan Hanshaw menjelaskan bahwa tahapan peristiwa dalam
alur/plot sebagai berikut.
(1)
exposition,
yaitu tahap awal yang berisi penjelasan tentang tempat terjadinya peristiwa
serta perkenalan dari setiap pelaku yang mendukung cerita;
(2)
inciting
force, adalah tahapan saat timbulnya kekuatan, kehendak, maupun perilaku yang
bertentangan;
(3)
rising
action, adalah situasi yang panas karena pelaku-pelaku dalam cerita mulai berkonflik;
(4)
crisis,
adalah situasi yang semakin panas, karena pelaku-pelaku dalam cerita mulai
berkonflik dan para pelaku sudah diberi gambaran nasib oleh pengarangnya;
(5)
climax,
adalah situasi puncak karena konflik berada dalam kadar yang paling tinggi,
sehingga para pelaku mendapatkan kadar nasibnya sendiri-sendiri;
(6)
falling
action, adalah kadar konflik yang sudah menurun, sehingga ketegangan dalam
cerita sudah mulai mereda sampai menuju conclusion atau penyelesaian cerita.
5) Gaya (Style)
Dalam karya
sastra, gaya mengandung pengertian cara seorang pengarang menyampaikan gagasan
dengan menggunakan media bahasa yang indah dan harmonis serta mampu menuansakan
makna dan suasana yang dapat menyentuh daya intelektual dan emosi pembaca.
Pengertian gaya sering dikacaukan dengan pengertian gaya bahasa, karena
belum dipahaminya perbedaan antara gaya dan gaya bahasa. Gaya merupakan salah
satu unsur pembentuk gaya. Hal ini sesuai dengan pendapat Aminuddin yang
menyatakan bahwa gaya dibentuk oleh unsur kebahasaan yang berupa kata dan
kalimat, alat gaya, yaitu majas dan kiasan. Majas meliputi asidenton, klimaks,
antiklimaks, paralelisme (majas kalimat); sedangkan yang termasuk majas kata
adalah litotes, hiperbola, dan eufimisme; majas pikiran, misalnya: paradoks,
antitese, dan aksimoron; majas bunyi, misalnya: anafora, dan fleonasme.
Dari
uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa penegertian gaya lebih luas
dibandingkan dengan gaya bahasa. Gaya adalah cermin pribadi pengarang, sudut
pandang pengarang/Point of View.
6) Setting
atau Latar
Setting
atau latar adalah tempat beraksinya tokoh-tokoh dalam cerita atau dapat
dikatakan sebagai tempat terjadinya peristiwa dalam cerita. Agar latar menjadi
hidup biasanya disertai dengan penggambaran suasana, musim, dan kurun waktu tertentu.
Latar dapat dilukiskan dengan penggambaran suasana yang selaras maupun kontras
(Tarigan, 1997 : 12.3).
Sejalan
dengan pendapat di atas, Endah Tri Priatni menjelaskan bahwa setting sebenarnya
tidak hanya berupa tempat, waktu, dan situasi yang bersifat fisikal saja,
tetapi juga terdapat setting yang bersifat psikologis. Setting fisikal
berkaitan dengan tempat, waktu, situasi dan benda-benda/lingkungan hidup yang
fungsinya membuat cerita menjadi logis. Sedangkan setting psikologis disamping
beda, waktu, tempat dan situasi tersebut mampu membuat cerita menjadi logis
juga mampu menggerakkan emosi atau jiwa pembaca.
7)
Sudut
pandang pengarang (Point of View)
Seorang
pengarang dalam memaparkan ceritanya dapat memilih sudut pandang tertentu.
Pengarang dapat memilih salah satu atau lebih narator/pencerita yang bertugas
memaparkan ide, peristiwa-peristiwa dalam prosa fiksi. Secara garis besar
pengarang dapat memilih pencerita AKUAN atau pencerita DIAAN (Priatni, 2003 :
42).
Seorang
pencerita dapat dikatakan sebagai pencerita akuan apabila pencerita tersebut
dalam bercerita menggunakan kata ganti orang pertama: aku atau saya. Pencerita
akuan dapat menjadi salah seorang pelaku atau disebut narrator acting. Sebagai narrator acting ia bisa mengetahui semua
gerak fisik maupun psikisnya. Narrator
acting yang demikian ini biasanya bertindak sebagai pelaku utama yang serba
tahu. Tidak semua narrator acting
bertindak sebagai pencerita yang serba tahu. Terdapat kemungkinan narrator acting ini hanya mengetahui
gerak fisik dari para pelaku. Dalam cerita, narrator
acting ini biasanya bertindak sebagai pelaku bawahan.
Disamping
bertindak sebagai pencerita yang terlibat atau narrator acting, seorang pencerita juga bisa bertindak sebagai pengamat.
Pencerita semacam ini biasanya disebut pencerita DIAAN. Pencerita diaan dalam
bercerita biasanya menggunakan kata ganti orang ke tiga. Adapun penunjuk
kebahasaan yang digunakan biasanya: dia, ia, mereka.
Narrator
pengamat dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu narrator pengamat yang serba
tahu dan narrator pengamat terbatas atau objektif. Narrator pengamat serba tahu
merupakan suatu teknik penceritaan dengan cara pencerita menuturkan ceritanya
melalui satu atau lebih tokoh-tokohnya. Dengan sudut pandang ini, pencerita
dapat berada di mana-mana dalam satu waktu.
Sedangkan
narrator pengamat terbatas adalah pengarang menuturkan ceritanya melalui
kesan-kesan atau impresi dari satu tokoh. Pengetahuan pencerita tentang apa
yang terjadi dalam cerita terbatas pada apa yang dapat dilihat, didengar
melalui gerak fisik saja.
8)
Suasana (mood dan atmosphere)
Menurut
Priatni (2003 : 42) dalam cerita fiksi terdapat suasana batin dari individu
pengarang. Di samping itu juga terdapat suasana cerita yang ditimbulkan oleh
penataan setting. Suasana cerita yang ditimbulkan oleh suasana batin individual
pengarang disebut mood, sedangkan suasana cerita yang timbul karena penataan
setting disebut atmosphere.
Suasana
dalam cerita fiksi merupakan daya pesona sebuah cerita. Suasana dapat pula
berupa kejadian atau hanya pembicaraan tokoh saja, tapi selama kita mengikuti
ceritanya terasa ada suasana tertentu yang menggayuti hati kita, tentu saja
suasana cerita baru terbina kalau unsur cerita yang lain berjalan dengan baik.
Selanjutnya
dijelaskan bahwa disamping mood dan atmosphere terdapat suasana cerita yang
timbul karena sikap pengarang terhadap pokok persoalan yang dikemukakan dalam
cerita. Suasana demikian dalam prosa fiksi disebut tone.
9)
Amanat
Apabila tema merupakan
persoalan-persoalan mendasar yang diolah pengarang dalam suatu cerita, maka
amanat adalah pemecahan persoalan yang terkandung dalam tema. Dalam amanat
tersebut akan terlihat pndangan pengarang dan cita-citanya.
Amanat
merupakan hasil perenungan pengarang tentang berbagai persoalan hidup dan cara
mengatasinya.
Yus Rusyana (1988 : 74) mengemukakan bahwa:
”Amanat
merupakan endapan renungan yang disajikan kembali
kepada
pembaca. Endapan tersebut merupakan hasil pemikiran
pengarang
tentang hidup dan kehidupan dan dituangkan dalam
bentuk
karya sastra”.
2.2 Pembahasan
2.2.1 Analisis penerapan unsur intrinsik dalam menulis cerita pendek
2.2.1.1
Cerpen 1
Tema :
Sosial (Bertamasya)
Tokoh
dan Penokohan : Saya
Watak
dan Perwatakan: Riang
Alur/Plot : Maju
Gaya
: -
Setting/Latar : Cirata
Sudut
Pandang : Akuan
Suasana : Riang, gembira, suka
cita
Amanat : Bertasya ke Cirata itu
menyenangkan
Dari cerita pendek yang dibuat oleh Fitriani Nova, dilihat dari judulnya
yaitu ”Waktu Bertamasya Ke Cirata”, kurang menarik untuk dibaca. Ceritanya
terlalu pendek. Gaya dalam penulisan ceritanya dinilai kurang karena kata dan
kalimat yang digunakan banyak yang tidak tepat. Alur/plot sangat membosankan
karena setelah perkenalan, penulis langsung memberikan penjelasan tentang isi
ceritanya, tidak ada krisis langsung pada penyelesaian. Sehingga, walaupun
ceritanya sangat pendek namun tetap akan membosankan pembaca. Amanat dari
cerita pendek tersebut kurang didapat.
2.2.1.2 Cerpen 2
Tema :
Sosial budaya
Tokoh dan Penokohan : tiga anak
sekolah di Desa Sukakali Jojon, Jono, dan Joni
Watak dan Perwatakan: Jojon (humoris), Jono (bijak), dan Joni (humoris)
Alur/Plot :
Maju
Gaya :
Santai
Setting/Latar : Desa Sukakali
Sudut Pandang : Diaan
Suasana :
Riang, gembira, suka cita
Amanat : Selesaikan
masalah dengan bijak
Dari cerita pendek yang ditulis oleh Alma, anak
kelas tiga sekolah dasar ini cukup menarik dan lucu. Dia mempunyai gaya yang
khas dalam memaparkan ceritanya sehingga tidak membosankan. Namun perlu
diperhatikan dalam pemilihan kata atau diksi. Amanat pada cerita pendek yang
berjudul Desa Sukakali ini yaitu
tidak usah mengeluh pada keadaan tanpa bertindak, coba bicarakan pada yang
lebih mengerti.
2.2.1.3 Cerpen 3
Tema :
Sosial
Tokoh
dan Penokohan : Farah dan Mama
Watak
dan Perwatakan: Farah (cengeng tapi pekerja keras) dan Mama (bijak)
Alur/Plot :
Maju
Gaya :
Setting/Latar : Rumah dan
sekolah
Sudut Pandang : Diaan
Suasana :
Haru
dan bahagia
Amanat : Sabar, kerja
keras, pasti berhasil
Cerpen yang berjudul Jari Gemuk Farah ini sangat singkat,
temanya cukup menarik, amanatnya mudah dapat. Tidak ada pemekaran cerita karena
pemaparannya langsung pada inti yang dilakukan tokoh. Cerita pendek yang
ditulis oleh Alma ini terbilang sudah baik mengingat usianya yang masih 9
tahun. Penerapan unsure instrinsiknya sudah cukup
baik, hanya kurang dalam gaya menulisnya.
2.2.1 Kesimpulan analisis penerapan unsur intrinsik dalam menulis cerita pendek
Dari ketiga cerita pendek
yang dibuat oleh siswa sekolah dasar, sudah dapat dikatakan memenuhi
unsur-unsur intrinsik sebuah cerita pendek. Namun, yang perlu dibangun lagi
yaitu unsur intrinsik gaya. Perlunya membangun gaya dalam menulis sebuah cerita
pendek agar siswa mampu menulis cerita
dengan ciri khasnya masing-masing tanpa menghilangkan unsur-unsur yang ada.
Kemudian penulisan
kutipan atau percakapan. Semua cerita pendek yang dibuat oleh siswa sekolah
dasar tersebut terdapat banyak pemaparan cerita dan kutipan yang digabungkan
tanpa menggunakan tanda petik atau pembeda. Penulisan seperti membuat pembaca
sulit memahami maksudunya.
Yang berperan penting untuk membangun
siswa sekolah dasar dalam menulis cerita pendek ini adalah seorang pengajar
atau guru dikelas. Seorang pengajar
perlu mendeskripsikan kecakapan belajar para siswa sehingga dapat
diketahui kelebihan dan kekurangannya dalam menulis cerita pendek sehingga didapat
perbaikan-perbaikan dalam menulis dikemudian hari.
Pengajar pun harus dapat
mengajarkan keterampilan menulis (cerita pendek) dengan teknik/metode yang
tepat sehingga dapat membantu siswa untuk menambah wawasan dan pengetahuan. Hendaknya selalu mempunyai inovasi baru dalam pembelajaran menulis untuk
meningkatkan kemampuan menulis siswa. Hal ini dapat dilakukan dengan melakukan
pembelajaran menulis dengan menggunakan teknik yang bervariasi.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
3.1.1 Menulis adalah aktifitas yang dilakukan
seseorang untuk berkomunikasi secara tidak langsung melalui simbol-simbol atau
lambang grafis yang menggambarkan suatu bahasa yang dipahami dan dituangkan
dalam bentuk bacaan.
3.1.2 Cerita pendek (cerpen) adalah salah satu
bentuk karya fiksi, atau diistilahkan prosa cerita, prosa narasi, narasi, atau
cerita berplot.
3.1.3 Unsur ekstrinsik merupakan salah satu unsur
pembangun prosa fiksi dalam hai ini cerpen, yaitu unsur pembangun yang berada
di luar cerpen itu sendiri
3.1.4 Unsur intrinsik meliputi (1) tema, (2) tokoh
dan penokohan, (3) Watak dan perwatakan (4) alur atau plot, (5) gaya (style),
(6) setting atau latar, (7) point of view atau sudut pandang pengarang, dan (8)
suasana (mood dan atmosphere), (9) amanat
3.1.5 Dari ketiga cerita pendek yang dibuat oleh siswa sekolah dasar, sudah dapat
dikatakan memenuhi unsur-unsur intrinsik sebuah cerita pendek. Yang berperan penting untuk
membangun siswa sekolah dasar dalam menulis cerita pendek ini adalah seorang
pengajar atau guru dikelas.
3.2
Saran
3.2.1
Sebelum
menulis, penulis harus benar-benar memahami betul struktur dan kaidah penulisan
sebuah tulisan yang akan dibuat.
3.2.2
Dalam
menulis cerita pendek, kaidah yang perlu dipahami yaitu unsur intrinsik dan ekstrinsik.
3.2.3
Ciptakan
tema yang semenarik mungkin.
3.2.4
Seorang
guru harus memberitahu kekurangan dan kelebihan siswa dalam menulis cerita
pendek, sehingga siswa mampu menulis dengan lebih baik.
3.2.5
Guru
dikelas hendaknya selalu mempunyai inovasi baru dalam pembelajaran menulis
untuk meningkatkan kemampuan menulis siswa. Hal ini dapat dilakukan dengan
melakukan pembelajaran menulis dengan menggunakan teknik yang bervariasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar